“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Q.s. al-Isrâ’ [17]:32).
***
Suatu ketika penulis pernah ditanya oleh seorang gadis yang baru menginjak dewasa, parasnya yang cantik sedikit menggoda mata penulis untuk terus menatapnya. Apa yang dia pertanyakan sebenarnya adalah hal yang wajar dan terlalu sering penulis dengar, apalagi bagi seorang gadis yang baru atau akan belajar menjalaninya.
“Bagaimana hukum berpacaran?” begitu kiranya kalau tidak salah dirinya melemparkan pertanyaan. Mendengar itu penulis hanya tersenyum sambil memandangi wajah lucu gadis tersebut. Namun, penulis tidak langsung menjawabnya, karena penulis sendiri yakin kalau gadis tersebut hanya mencari sebuah pendapat sebagai perbandingan.
“Mau minta jawaban agama atau kemanusiaan?” penulis melemparkan dua tawaran jawaban untuk dipilih salah satu, saat itu gadis tersebut malah tertawa lucu, “Aneh?” Pikir penulis saat itu.
“Kalau agama saya sudah tahu mas” jawabnya singkat, bertolak dari ungkapan itu, penulis akhirnya menyimpulkan kalau sang gadis tersebut ingin jawaban yang bernuansa lain. Namun, ceritanya beda, karena penulis jadi bingung sendiri, pikir penulis kemanusiaan yang mana yang akan penulis berikan sebagai jawaban. Karena dalam hati penulis merasakan bahwa “bukankah agama juga merupakan nilai sebuah kemanusiaan”, lama penulis berpikir untuk memberikan jawaban yang sekiranya sesuai dengan keadaan psikologis gadis tersebut.
“Tidak boleh” jawaban itu akhirnya penulis keluarkan, dengan sebuah alasan “Karena kebanyakan yang kita perbincangkan dalam berpacaran, hanyalah masalah-masalah tentang kesenangan sendiri”. Meski penulis sendiri menyadari kalau gadis tersebut, bisa dipastikan tidak akan setuju dengan model jawaban seperti itu, dan ternyata apa yang penulis rasakan tidak jauh dari perkiraan.
“Tapi ada kok, orang pacaran yang dibicarakan selain kesenangan sendiri,” rupanya tanpa disadari sang gadis telah menceritakan tentang kehidupan yang sedang dijalaninya. Karena pertanyaan itu penulis anggap hanya sebuah gurauan, maka dengan enteng penulis menimpali.
“Kalau yang dibicarakan bukan masalah kesenangan sendiri, itu namanya bukan pacaran, melainkan belajar kelompok. Ha.. ha.. ha.. “ penulis mengakhiri celotehan itu dengan sedikit tawa kecil, dan gadis itu pun juga ikut tertawa.
***
Asyik memang bicara tentang pacaran saat kita sedang nongkrong, atau disela-sela kegiatan diskusi atau pun yang lain, apalagi kalau yang dibicarakan menyangkut kehidupan pribadi yang sedang kita jalani. Bisa-bisa kita jadi lupa kalau belum melakukan aktivitas yang seharusnya lebih penting dan berguna untuk dilakukan terlebih dahulu. Begitu banyak orang bicara tentang pacaran menurut versinya sendiri-sendiri, dan begitu banyak pula orang menyikapi perilaku pacaran itu sendiri menurut apa yang mereka pelajari dan jalani. Ada yang mengatakan “pacaran itu asyik”, adapula yang berpendapat “pacaran hanya buang-buang waktu saja”, bahkan yang lebih ekstrim sampai mengeluarkan keputusan bahwa “pacaran apapun bentuknya tetaplah haram”.
Bahkan yang akhir-akhir ini sering digembar-gemborkan adalah metode “pacaran secara islami”, saat kali pertama penulis mendapat informasi itu, penulis malah tertawa sendiri, “Orang kok ada-adaaa… saja”. Lha iya, pacaran kok secara islami, nanti lama-kelamaan ada istilah metode “zina secara islami, kali”, atau “mencuri secara islami”, “korupsi secara islami”, atau kalau perlu “membunuh secara islami”. Kadang sempat terbesit dalam benak hati penulis sebuah pertanyaan, “Sebenarnya mereka itu faham nggak ya, dengan maksud islami itu sendiri? Pacaran itu apa? Islami itu apa?” kok sampai-sampai ada istilah “Pacaran secara islami” segala.
Kalau penulis pribadi, entah itu ditinjau dari kajian keagamaan ataupun kemanusiaan, apalagi nilai-nilai ke-Tuhanan, apapun alasannya yang namanya pacaran tetaplah melanggar etika dan norma kemanusiaan. Dan penulis menganggap bahwa setiap sesuatu yang melanggar dan keluar dari etika dan norma kemanusiaan, itu merupakan sebuah keburukan yang seharusnya kita akui dengan segala ketulusan hati. Penulis tidak bermaksud menafikan sebuah kenyataan hidup, apalagi melarang atau bahkan mengharamkan, karena penulis sendiri menyadari bahwa terlalu sulit bagi kita untuk tidak menjalani pacaran itu sendiri. Namun, persoalannya bukan pada menjalani atau tidak, sulit atau tidak sulit, melainkan adalah pada pengakuan kita bahwa “apa yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan”.
Kalaupun ada sebuah metode yang berani mengatakan “Pacaran secara islami”, itupun bagi penulis sah-sah saja, karena orang bicara sesuai dengan tingkat pengetahuan dan perasaan yang dijalaninya. Lalu pertanyaannya, Islami yang bagaimana? Apa ketika pacaran memakai jilbab itu merupakan perilaku yang islami? Apa ketika berpacaran sambil mengantongi al-Qur’an itu juga hal yang islami? Apa saat berdua-duaan dengan wanita lain mahram sambil membaca shawalat itu juga dikatakan islami? Atau pacaran di dalam masjid itu juga islami? Atau kalau tidak begitu, pacaran sambil berdzikir pada Tuhan, apa itu juga dikatakan hal yang islami?.
“Lho kok gitu pengambilan contohnya”, apakah ini yang akan Anda pertanyakan pada penulis? Lalu penulis harus ngambil contoh seperti apa, proses pacaran terlalu banyak untuk dicontohkan, dan penulis yakin Anda lebih paham dan mengerti betul dengan model-model pacaran yang selama ini Anda jalani. Kalau anda takut dikatakan melakukan hal yang buruk, ya jangan dilakukan. Kalau anda malu dikata berpacaran, yang jangan berpacaran, gitu aja kok repot. Kalau menurut Anda pacaran itu keliru, ya katakan keliru jangan sebaliknya, kalau anda menganggap bahwa pacaran itu sebuah dosa, ya sedikit mungkin dijahui jangan terus menerus dilakukan. Jadi orang itu yang bertanggungjawab, jangan hanya mau enaknya saja, tapi takut menerima segala resikonya.
Islam, bagi penulis adalah dharma bukan sekadar agama, karena kalau agama nanti ada kesamaan dengan agama-agama yang lain, ketika Tuhan mengatakan bahwa “Agama yang paling baik dan sempurna disisi-KuDharma yang paling baik disisi Tuhan adalah Islam”. Dharma adalah nilai, ruh, hati, dan jiwa, sementara agama adalah aturan dan ajaran yang datang dari Tuhan melalui perantara para utusan-Nya (pemaknaan agama secara khusus). Jadi, hati-hati menggunakan kata Islam, terus terang penulis pribadi begitu takut menggunakan kata Islam, karena penulis menyadari bahwa apa yang selama ini penulis lakukan belum sepenuhnya mengandung ruh dan jiwa yang Islami. adalah agama islam” itu berarti adalah “
Untuk itulah penulis memberikan sebuah jawaban “Tidak boleh” untuk pertanyaan yang dilontarkan gadis tersebut di atas. Mengapa? Karena penulis menyadari bahwa apapun yang keluar dari mulut penulis (jika berbicara dihadapan perempuan yang bukan mahram), hati penulis begitu gembira, senang, terbuai, dan terpesona dengan apa yang penulis katakan sendiri. Apalagi ketika seorang wanita yang penulis ajak bicara begitu cantik dan menawan, bisa dipastikan hati penulis ingin berlama-lama dalam keberduaan, dan inginnya terus bersama tanpa ada yang mengganggu.
Bagi penulis, sah-sah saja Anda melakukan pacaran, berdua-duaan dengan seorang gadis atau laki-laki bukan mahram, jalan bareng sambil bergandengan tangan, mencium, mencubit, meraba, memeluk, saling berpandangan mata, atau kalau perlu bersetubuh sekalipun, itu hak Anda. Anda yang mengaku manusia, lakukan saja kalau memang Anda sudah tidak dapat menahannya, apalagi menjahuinya. Tapi ingat! Apa yang anda dapatkan setelah itu? Kepuasan? Merasa gagah? Merasa berani? Merasa laki-laki? Merasa wanita sejati? Merasa anak gaul? Atau anak moderen?
Sekarang terserah Anda dalam menyikapi dan memahami tentang pacaran itu sendiri, apapun anggapan dan pendapat yang akan Anda berikan pada orang lain, itu sepenuhnya menjadi pertanggungjawaban Anda sendiri. Dan penulis harap anda jangan menyesali dengan apa yang anda jalani saat ini dikemudian hari. Oleh karenanya, penulis harap Anda berpikir lagi sebelum menjalani pacaran itu sendiri.
***
Sebelum penulis pergi meninggalkan gadis tersebut, penulis sempat mengucapkan sebuah kata sebagai wujud ceremonial permisahan.
“Maaf mbak, apa dikira apa yang barusan kita lakukan tadi merupakan sebuah kebaikan? Tidak! Bagi saya ini juga sebuah kesalahan”.
Sontak saja gadis itu tertunduk lesu dan malu, entah kalau Anda yang seorang wanita, apakah juga melakukan hal seperti itu? Tertunduk lesu dan malu, meski perasaan hati hanya Tuhan yang tahu.
Artikel by : www.jalansunyi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar